Tentang isbal
- ..
Ngutip dari fasbir sabran jamila
HARAMKAH ISBAL..??
Berdasarkan pengertian dari Hadis, Isbal adalah memanjangkan pakaian
(sarung / celana) di bawah mata kaki hingga menyentuh tanah.
Hadis-hadisnya sangat banyak sekali, diantaranya:
ثلاث لا
يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل
إزاره والمنان الذى لا يعطى شيئًا إلا منة والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
(رواه مسلم رقم 106)
“Ada 3 orang yang tidak akan dilihat oleh
Allah di hari kiamat dan tidak dibersihkan oleh Allah, serta mereka
mendapat adzab yang pedih yaitu orang yang melakukan Isbal (memanjangkan
pakaiannya), orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya dan orang yang
bersumpah palsu atas dagangannya” (HR Muslim No 106).
Dan hadis:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ (رواه البخاري رقم 5787)
“Pakaian yang dibawah mata kaki maka ada di neraka” (HR Bukhari No 5787)
Namun hadis-hadis diatas masih umum, dan terdapat sekian banyak hadis yang mentakhsis (membatasi) keumumannya. Diantaranya:
لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطرا (رواه البخاري رقم 5451 )
لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء (رواه مسلم رقم 2085)
“Allah tidak akan melihat seseorang di hari kiamat yang memanjangkan
pakaiannya (Isbal) secara sombong” (HR Bukhari No 5451 dan Muslim No
2085).
Ketika Rasulullah bersabda demikian, kemudian Abu Bakar bertanya:
فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول
الله صلى الله عليه و سلم إنك لن تصنع ذلك خيلاء (رواه البخاري رقم 3465)
“Sesungguhnya salah satu sisi pakaian saya memanjang ke bawah kecuali
kalau saya menjaganya? Rasulullah saw menjawab: “Kamu melakukan itu
tidak karena sombong” (HR Bukhari No 3465). Artinya Rasulullah memberi
keringanan bahwa jika Isbal dilakukan tidak bertujuan sombong adalah
diperbolehkan. Dengan demikian hukumnya Isbal tidak haram dan faktor
keharamannya adalah “Sombong”. Maka mengangkat pakaian diatas mata kaki
adalah sunah, bukan wajib. Penjelasan ini diulas oleh Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim 1/128.
Salah satu maksiat badan adalah
memanjangkan pakaian (sarung ataupun yang lainnya) yakni menurunkannya
hingga ke bawah mata kaki dengan tujuan berbangga dan menyombongkan diri
(al Fakhr). Hukum dari perbuatan ini adalah dosa besar kalau memang
tujuannya adalah untuk menyombongkan diri, jika tidak dengan tujuan
tersebut maka hukumnya adalah makruh. Jadi cara yang dianjurkan oleh
syara' adalah memendekkan sarung atau semacamnya sampai di bagian tengah
betis.
Hukum yang telah dijelaskan ini adalah hasil dari
pemaduan (Taufiq) dan penyatuan (Jam') dari beberapa hadits tentang
masalah ini. Pemaduan ini diambil dari hadits riwayat al Bukhari dan
Muslim bahwa ketika Nabi r mengatakan :
"من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة " رواه البخاري ومسلم
Maknanya : "Barang siapa menarik bajunya (ke bawah mata kaki) karena
sombong, Allah tidak akan merahmatinya kelak di hari kiamat" (H.R. al
Bukhari dan Muslim)
Abu Bakr yang mendengar ini lalu bertanya
kepada Nabi : "Wahai Rasulullah, sarungku selalu turun kecuali kalau aku
mengangkatnya dari waktu ke waktu ?" lalu Rasulullah SAW bersabda :
"إنك لست ممن يفعله خيلاء " رواه البخاري ومسلم
Maknanya : "Sesungguhnya engkau bukan orang yang melakukan itu karena sombong" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Jadi oleh karena Abu Bakr melakukan hal itu bukan karena sombong maka
Nabi tidak mengingkarinya dan tidak menganggap perbuatannya sebagai
perbuatan munkar; yang diharamkan.
Bantahan Terhadap dalil yang Wahabi Ajukan dari pendapat Ibnu Hajar
Jika kita teleti dan jeli serta memahami ilmu lughah, maka kita akan
mengetahui dan memahami bahwa sebenarnya Ibnu Hajar tidak mendukung
keharaman isbal secara muthlaq juga tidak mngatakan makruh bagi yang
berisbal dengan tanpa khuyala.
Ibnu Hajar berkata
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena
sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong,
maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.” (Fathul bari: jilid
13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Menurut pendapat yg
mengharamkan isbal scara muthlaq, maka kutipan Ibnu Hajar ini dijadikan
hujjah bahwa beliau menguatkan pendapat yang mngharamkannya secara
muthlaq.
Tentu saja jika kutipan Ibnu Hajar hanya sampai di situ, maka pembaca akan berkesimpulan yg sama.
Namun bila dicek kembali perkataan Ibnu Hajar seutuhnya, ternyata
kalimat itu belum selesai. Adapun perkataan Ibnu Hajar selengkapnya
sebagai berikut:
“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal
(menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang
bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga
mengharamkannya. Namun taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk
dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa
menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini,
sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari
rasa sombong”.
Catatan :
1. Petikan secara utuh di
atas jelas menunjukkan bahwa beliau tidak menguatkan pendapat yang
mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang
tanpa sombong tetap diharamkan oleh banyak hadis ”
2. Petikan
secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat
yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal
tanpa sombong tidak diharamkan ”.
Jika pendapat yang mengharamkan isbal berdalih dengan ucapan Ibnu Abdil Bar
Maka ini sungguh bukan dalil pengharamannya secara muthlaq. Kemudian
jika ditinjau dari sisi ilmu lughah, maka akan kita ketahui bahwa Ibnu
Hajar tidak mendukung pengharaman Isbal secra muthlaq dan juga boleh
(tidak makruh) jika tanpa khuyala.
Perhatikan :
Pertama : Dilihat dari lafadz USTUDILLA adalah bentuk kata kerja majhul
yaitu kata kerja pasif untuk waktu lampau. Pada dasarnya, shigah majhul
(bentuk kata kerja pasif) digunakan karena beberapa maksud sebagaimana
disebutkan dalam kitab-kitab Nahwu :
1. Lil iejaz (meringkas)
2. Lil „ilmi bih (telah diketahui pelakunya)
3. Lil jahli bih (tidak diketahui pelakunya)
4. Lil khauf „alaih (merasa khawatir)
5. Lil khauf minhu (merasa takut)
6. Lit tahqier (merendahkan)
7. Lit ta‟zhiem (mengagungkan)
8. Lil ibahmi (menyamarkan pada pendengar)
Kedua : Kata ISTIDLAL dalam konteks ini harus dijelaskan secara
istilahi bukan lughowi karena demikianlah yg digunakan oleh ahli ushul
fiqih dan fiqih. Maka dengan demikian memiliki makna dua :
1. menegakkan dalil secara mutlak, baik dalil itu berupa nash, ijma‟ maupun yang lainnya.
2. menegakkan dalil yang bukan berupa nash, ijma‟, dan qiyas.
Ketiga : kata Istidlal isytiyaqnya dari asal dalla yadullu dan mngikuti wazan istaf‟ala.
Dalam konteks ini berarti istidlal memiliki makna ittidzkhaz yaitu
menjadikan. Artinya, segala sesuatu (selain Quran, sunah, ijma‟, dan
qiyas) yang dijadikan dalil. Adapun Quran, sunah, ijma‟, dan qiyas
ditegakkan sebagai dalil bukan sebagai produk/karya para mujtahid yang
lahir dari ijtihad mereka. Adapun yang diakui sebagai istidlaal adalah
istishab dan lain-lain. Maka sesuatu yang dikatakan oleh setiap imam
berdasarkan ketetapan ijtihadnya, seakan-akan ia menjadikannya sebagai
dalil
Keempat : Menurut ilmu Balaghah dan Ma’ani, istidlal tersebut masuk kategori :
1. Qiyas iqtirani dan qiyas istitsnai. Keduanya jenis qiyas mantiq.
Contoh Qiyas iqtirani: arak itu memabukkan-Setiap yang memabukan haram.
Natijahnya: Arak haram. Contoh qiyas istitsnai: Jika arak itu mubah
maka dia tidak memabukkan. Namun karena dia memabukkan, natijahnya: maka
dia tidak mubah.
2. Istiqra, yaitu menelusuri point-point
parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara
qathi'y atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil
tertentu tapi dengan dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun
berbeda maksud. Selanjutnya dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan
satu cakupan hukum.
3. Istishhab, yaitu penetapan hukum suatu
perkara di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).
Maka dengan
penjelesan ini, jelas Ibnu Hajar tidak sedang mendukung pengharaman
isbal secara muthlaq dan juga tidak memakruhkannya bagi yang berisbal
tanpa khuyala.
2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz 1 hal : 473 mngatakan :
“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata kaki tanpa ada hajat menurut
pndapat yang shohih..si nadzim menyebutkan jika tidak takut sombong maka
tidak makruh…”
3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :
“ Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syarah Umdah “ Adapun jika tidk
dngn khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat atau tdk bermaksud
sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka tidaklah
mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.
4. Imam Syafi’i sendiri memiliki pendapat lain yg dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’nya berikut :
“ Tidak boleh sadl atau isbal di dalm sholat maupun diluar sholat jika
karena sombong. Adapun sadl bukan karena sombong di dalam sholat maka
itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw kepada Abu Bakar yang
berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke bumi “ Maka
Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.
5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan dalam shohih Muslim berikut :
“ Barangsiapa yang mnyeret sarungnya, tidak berbuat itu selain sifat
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat “. (HR.
Muslim).
Nash ini jelas bahwa isbal tidaklah haram kecuali karena melakukannya dengan sifat sombong.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer